7 Jan 2014

No Tipping, No Undertable

Dalam buku karya Purdi E. Chandra “Cara Gila Jadi Pengusaha” disalah satu babnya di tulis tentang pengalaman si penulis ketika menginap di salah satu hotel di Jakarta. Ada yang unik di hotel tersebut yaitu pihak manajemen hotel melarang bellboy untuk menerima tip sebagaimana lazimnya hotel-hotel. Dan anjuran itu dilaksanakan seluruh staf termasuk bellboy dengan sepenuh hati. Hasilnya kinerja hotel menjadi bagus.

Bukan hanya tip tapi juga bakpia, intinya semua karyawan dilarang menerima pemberian dari tamu hotel, no tipping no bakpia, begitu centilan bung Purdi E. Chandra. Bagi karyawan yang diketahui menerima tip akan dikeluarkan.

Saya lantas membayangkan seandainya polisi dan aparat negara bisa melakukan seperti yang dilakukan bellboy itu. Alangkah indahnya negeri ini semuanya berjalan sesuai dengan prosedur. Polisi tidak usah jadi calo di jalanan hanya untuk selembar duit haram.  Juga aparat Negara dari lurah sampai pejabat negara tidak perlu lagi ngobyek untuk mengincar duit-duit haram. Dan keluarga pun makan dari uang halal, bersekolah dengan uang halal, berobat dengan uang halal hingga naik haji juga dengan uang halal, tapi mungkin kah itu bisa terjadi !!! jangan-jangan hanya bisa terjadi di sebuah negeri Utopia seperti dalam kamus Plato.

Padahal tiap tahun bermilyar-milyar duit Negara habis untuk menggelar diklat sekedar mengajarkan arti sebuah etika dan menghindari prilaku korup.

Pernah suatu hari kampung kami kedatanagn seorang polisi muda berpangkat perwira menengah. Alumnus sekolah kepolisian ini juga merupakan salah satu polisi terbaik di Jawa, kehadiran polisi ini dimanfaatkan untuk berdiskusi. Salah satu pertanyaan dari warga kampung adalah menyoal kebiasaan polisi meminta upeti layaknya raja di zaman feodal dulu.

Tidak ingin malu sang polisi muda ini menjawab bahwa di kepolisian sedang digalakkan reformasi dan budaya seperti itu berusaha dihilangkan, terus soal upeti, biasanya terjadi kalau warga yang kasusnya diselesaikan oleh polisi memberikan rasa terima kasihnya dengan memberi uang tanda terima kasih. Lantas apa duit itu diambil ??, tanya warga 
"iya, kami ambil karena itu sukarela". 
Saya lantas mengamini dalam hati bahwa mental polisi memang tidak lebih baik dari mental bellboy.

Tanpa merendahkan profesi bellboy, saya mau sampaikan bahwa untuk menjadi bellboy tidak perlu ijazah yang tinggi, kalau begini jadi polisi tidak perlu lah berijazah toh kualitasnya tidak lebih baik dari bellboy itu. Pengalaman lain ketika kerja di perusahaan swasta pelayaran, suatu hari saya mendapat tugas menemani seorang kawan untuk mengurus dokumen administrasi kapal kami. Sebenarnya saya diajak hanya katena mereka khwatir kalau duit yang dibawanya itu kurang.

Dan benar saja, ketika rekan saya sementara mengurus dokumen itu, saya ditelepon untuk ikut masuk, katanya duitnya kurang. Setelah didalam teman menghampiri saya dan berkata duitnya kurang sejuta rupiah, saya bilang “ok, kita bayar asal ada bukti tanda terimanya”. Kata temanya  “tidak ada kuitansi untuk biaya ini, ini hanya uang tip saja”. Uang tip sampai satu juta, wow.

Karyawan itu atau tepatnya kepala seksi hanya berkata itu sudah biasa dan termasuk biaya undertable. Sebagai seorang akuntan saya belum pernah menemukan dalam akun yang namanya biaya undertable atau biaya dibawah meja alias biaya siluman, ini hanya akal-akalan saja mendapatkan duit tambahan. Karena bingung saat di jurnal sebagai biaya yang mana maka biaya ini saya kategorikan biaya lain-lain. Ketika seorang kawan data control dari Jordania datang menanyakan hal ini, dengan rumit saya menjelaskan bahwa uang itu termasuk biaya siluman alias undertable cost, kata kawan Jordan "ini tidak masuk akal". 

Dari sharing dengan teman-teman, saya melihat biaya siluman di industri pelayaran memang cukup banyak. Mungkin masuk akal apa yang dibilang Dirut Pelindo II bahwa gaji mereka sengaja dikasih sangat tinggi supaya tidak korupsi lagi. Padahal urusan korupsi bukan semata masalah besarnya gaji, lebih kepada masalah mental. Pengidap sindrom korupsi memang tidak jauh-jauh dari pengidap sakit mental yang stutusnya beda tipis sama orang sakit jiwa.

Begitu susahnya menghilangkan budaya tip di lingkungan birokrat kita. Sampai-sampai tertanam dalam image sebagian besar  bahwa yang berseragam ini bermental korup, padahal saya yakin tidak semua aparat mau menerima uang tip seperti bellboy di salah satu hotel di Jakarta.

Lalu beranikah polisi, jaksa, hakim, lurah, dll berkata No tipping No undertable!! atau haruskah kita menyandarkan pada seleksi alam saja, yaitu menunggu satu generasi korup ini hilang dari bumi, lalu lahir tunas-tunas baru yang bersih. Saya bahkan tidak yakin kalau tunas-tunas baru ini bisa bersih, soalnya mereka sekolah dan makan dari duit-duit haram dari generasi sebelumnya hingga mereka mewarisi sifat selalu minta tip. Kalau begitu saya hanya berharap kepada Tuhan yang maha kuasa untuk mengubahnya.

salam

Tidak ada komentar: