Kesepian itu kesan pertama saat
saya menatap bangunan tegap menjulang tinggi ke langit, Monumen Mandala
Pembebasan Irian Barat, orang lebih mengenalnya dengan sebutan Monumen
Mandala. Sore itu saya melintas di depannya,
awan hitam menggelantung diatas menaranya, seolah ingin menggambarkan
kegetirannya, kini telah dilupakan.
Bicara ikon kota Makassar maka
pandangan kita akan segera mengingat pantai Losari atau Benteng Roterdam, orang
lantas lupa dengan Monumen Mandala. Seperti umumnya monument pasti menyimpan
kisahnya. Monumen ini dibangun pada masa orde baru berkuasa tahun 1994, monumen
Mandala tidak bisa lepas dari sosok murah senyum namun kontroversial bernama
Soeharto. Letaknya pun bergengsi tidak jauh dari titik nol kilometer kota
Makassar.
Tingginya 75 meter yang terdiri
atas 4 lantai, Menaranya mencapai ketinggian 62 meter sebagai simbol, pada
1962, terjadi perjuangan pembebasan Irian Barat. Pada bagian bawah monument
terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat yang tak kunjung padam.
Monumen ini sengaja dibangun di Makassar karena di kota anging mamiri menjadi
pusat dari pembebasan Irian Barat.
Dibagian dalam monument mandala
terdapat berbagai macam replika dan diorama perjuangan bangsa tidak hanya kisah
pembebasan irian Barat, tapi juga cerita tentang perjuangan anak negeri melawan
kolonialisme terutama perjuangan lokal laskar Sulawesi.
Pasca reformasi monumen mandala
seperti kehilangan pamornya, monumen ini hanya dikenal jika ada pesta atau
festival dan sesekali menjadi tempat para demontran meluapkan keluh kesahnya,
atau saat musim pilkada dimana para calon walikota mengumbar janji manisnya.
Kini nasib monumen mandala semakin tegerus oleh zaman, orang tidak lagi
tertarik datang berkunjung. Pada Juli lalu Monumen Mandala direnovasi. Tujuannya
agar wisatawan mau singgah untuk bernostalgia dengan masa silam. Masyarakat
“modern” lebih senang mengunjungi Trans Studio yang megah atau Pantai Losari
yang kian cantik. Kemeriahan masa silam tinggal kenangan.
Tidak jauh dari monumen mandala
berdiri mal dan pusat perbelanjaan mewah yang sesak dengan pengunjung, sangat
kontras dengan pemandangan monumen mandala yang sepi. Jangan lupakan pula
lapangan karebosi yang berseberangan dengan monumen mandala merupakan satu
saksi sejarah Trikora, lapangan Karebisi punya pertautan sejarah dengan Monumen
Mandala. Kini karebosi telah disulap menjadi pusat perbelanjaan elit, sebuah
mal bawah tanah. Di Karebosi 41 tahun silam, Bung Karno bersuara lantang
“”rebut Irian Barat sebelum ayam berkokok” yang menjadi batu meteor pembakar
semangat bagi generasi pada masanya merebut kembali Irian Barat.
Pada akhirnya saya berharap pihak
terkait perlu mengemas ulang format wisata sejarah yang mampu mengajak orang
untuk datang ketempat ini. Selain itu fasilitas yang nyaman dan modern akan
membuat pengunjung betah untuk melihat salah satu cerita kegemilangan rakyat
Indonesia. Monumen mandala sebagai wahana merenenungi jejak perjuangan bangsa
dan menjadi pembelajaran generasi kini.
Monumen mandala bukan sekedar
bangunan bisu yang layak dibiarkan teronggok dalam metropolitan yang gemerlap,
karena didalamnya terdapat secuil kisah perjuangan anak bangsa melawan
kapitalisme. Dan jangan biarkan monumen mandala dibiarkan mematung tanpa makna
bagi generasi sekarang.
Sambil mengenang kalimat Pemimpin
Besar Revolusi, Soekarno “jangan sesekali melupakan Sejarah”, saya tinggalkan
Monumen Mandala dengan membawa seribu impian, bisa melihat kembali monumen mandala
menjadi primadona dan ikon kota Makassar.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar