11 Nov 2013

Monumen Mandala, Riwayat Mu Kini !!!




Kesepian itu kesan pertama saat saya menatap bangunan tegap menjulang tinggi ke langit, Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat, orang lebih mengenalnya dengan sebutan Monumen Mandala.  Sore itu saya melintas di depannya, awan hitam menggelantung diatas menaranya, seolah ingin menggambarkan kegetirannya, kini telah dilupakan.

Bicara ikon kota Makassar maka pandangan kita akan segera mengingat pantai Losari atau Benteng Roterdam, orang lantas lupa dengan Monumen Mandala. Seperti umumnya monument pasti menyimpan kisahnya. Monumen ini dibangun pada masa orde baru berkuasa tahun 1994, monumen Mandala tidak bisa lepas dari sosok murah senyum namun kontroversial bernama Soeharto. Letaknya pun bergengsi tidak jauh dari titik nol kilometer kota Makassar.

Tingginya 75 meter yang terdiri atas 4 lantai, Menaranya mencapai ketinggian 62 meter sebagai simbol, pada 1962, terjadi perjuangan pembebasan Irian Barat. Pada bagian bawah monument terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat yang tak kunjung padam. Monumen ini sengaja dibangun di Makassar karena di kota anging mamiri menjadi pusat dari pembebasan Irian Barat.

Dibagian dalam monument mandala terdapat berbagai macam replika dan diorama perjuangan bangsa tidak hanya kisah pembebasan irian Barat, tapi juga cerita tentang perjuangan anak negeri melawan kolonialisme terutama perjuangan lokal laskar Sulawesi.

Pasca reformasi monumen mandala seperti kehilangan pamornya, monumen ini hanya dikenal jika ada pesta atau festival dan sesekali menjadi tempat para demontran meluapkan keluh kesahnya, atau saat musim pilkada dimana para calon walikota mengumbar janji manisnya. Kini nasib monumen mandala semakin tegerus oleh zaman, orang tidak lagi tertarik datang berkunjung. Pada Juli lalu Monumen Mandala direnovasi. Tujuannya agar wisatawan mau singgah untuk bernostalgia dengan masa silam. Masyarakat “modern” lebih senang mengunjungi Trans Studio yang megah atau Pantai Losari yang kian cantik. Kemeriahan masa silam tinggal kenangan.

Tidak jauh dari monumen mandala berdiri mal dan pusat perbelanjaan mewah yang sesak dengan pengunjung, sangat kontras dengan pemandangan monumen mandala yang sepi. Jangan lupakan pula lapangan karebosi yang berseberangan dengan monumen mandala merupakan satu saksi sejarah Trikora, lapangan Karebisi punya pertautan sejarah dengan Monumen Mandala. Kini karebosi telah disulap menjadi pusat perbelanjaan elit, sebuah mal bawah tanah. Di Karebosi 41 tahun silam, Bung Karno bersuara lantang “”rebut Irian Barat sebelum ayam berkokok” yang menjadi batu meteor pembakar semangat bagi generasi pada masanya merebut kembali Irian Barat. 

Pada akhirnya saya berharap pihak terkait perlu mengemas ulang format wisata sejarah yang mampu mengajak orang untuk datang ketempat ini. Selain itu fasilitas yang nyaman dan modern akan membuat pengunjung betah untuk melihat salah satu cerita kegemilangan rakyat Indonesia. Monumen mandala sebagai wahana merenenungi jejak perjuangan bangsa dan menjadi pembelajaran generasi kini.

Monumen mandala bukan sekedar bangunan bisu yang layak dibiarkan teronggok dalam metropolitan yang gemerlap, karena didalamnya terdapat secuil kisah perjuangan anak bangsa melawan kapitalisme. Dan jangan biarkan monumen mandala dibiarkan mematung tanpa makna bagi generasi sekarang. 

Sambil mengenang kalimat Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno “jangan sesekali melupakan Sejarah”, saya tinggalkan Monumen Mandala dengan membawa seribu impian, bisa melihat kembali monumen mandala menjadi primadona dan ikon kota Makassar.

Salam

Sepotong Heroik dari Melbourne

Sang mentari mulai naik, jalan kota Makassar mulai ramai dengan lalu lintasnya. Manusia dengan ragam kegiatannya mulai menyemut keluar rumah. Sementara itu di keheningan pekuburan, seorang lelaki tua bersama seorang anak muda tergopoh-gopoh memasuki area pemakaman. Ada ratusan nisan di dalam kompleks itu, tapi lelaki tua itu sudah sangat mengenali makam yang akan ditujunya. Tiba didepan makam, dia mengangkat kedua tangannya, mulutnya komat kamit membaca doa sesekali tangannya memegang batu nisan, sebuah tulisan kecil di nisan tertulis RAMANG.

Siang di tanggal 29 November 1956, wajah-wajah tegang dan cemas sedang menghinggapi tim nasional Indonesia. Lawan berikutnya adalah Uni Sovyet. Siapapun tahu Uni Sovyet adalah tim yang sangat kuat. Di sudut ruang ganti Toni Pogacnik dengan sebatang cerutunya sedang mengamati secarik kertas ditangannya, beberapa kali dia terlihat mencoret-coret kertas tersebut.

Toni sedang mencari mukjizat bagaimana cara terampuh membendung kekuatan Beruang Merah. Dia lalu memanggil semua tim untuk berkumpul.

Dengan pelan-pelan seperti seorang guru yang mengajarkan muridnya, Toni menjelaskan strateginya. Indonesia bermain Grendel ala Catenacio Italia, Maulwi Saelan dipercaya menjadi gawang Garuda, di depannya berdiri empat bek sejajar yaitu: Rasjid, Siregar, Ramlan, dan Seek Kwee. di tengah Toni mempercayai trio peranakan China Houw Tan, Liong Phwa dan Tjiang Thio, tugas ketiganya menjaga kedalaman skuad Garuda membantu pertahanan di luar garis 16 sedangkan di sayap Toni memasang Endang Witarsa dan Ramang, ini sebuah kejutan Ramang yang asli penyerang tengah di geser ke sayap.

“Ramang gunakan sprint mu, buat kejutan dengan shoot dari sisi sayap” demikian instruksi Toni kepada Ramang. Penyerang tengah di percayakan ke Ashari Danu, tugasnya memantulkan bola ke salah satu penyerang sayap.

“jangan biarkan Soviet itu masuk kotak 16 besar”

Sore itu, stadion Olimpiade Melbourne riuh dengan puluhan ribu penonton. “Ini partai Goliath versus David” seru komentator dari corong radio ABC.

“Lima gol sangat masuk akal, tiga dari Ryshkin dan dua untuk Salnikov” komentator lain menimpali
Anak-anak Garuda tahu mereka tidak diunggulkan, hingga melecut spirit mereka.

“Apapun yang terjadi dilapangan, kalian jangan menyerah, jangan mengeluh, buat Kamerad itu frustasi” Toni memberi samangat.

Satu persatu sebelas laskar Garuda muncul dilapangan, lagu Indonesia Raya berkumandang dengan gagahnya. Sebagian besar pemain Garuda menitikkan air mata, disaat bersamaan adrenalin mereka terpacu kencang. Tiada wajah gentar yang terlihat di wajah Garuda, hanya Toni Pogacnik yang sedikit cemas. Kontras dengan seterunya Gavril Kachalin yang tersenyum lepas. “Ini pertandingan mudah” Kachalin membatin

Kick off dimulai, Sovyet melancarkan serangan cepat lewat duet striker mautnya Ryschkin dan Salnikov tapi gelandang tengah garuda cekatan menghalau serangan. Berkali-kali Sovyet mengancam lewat tengah dan berkali kali pula Garuda mematahkan serangan mereka. Kaki kaki kecil garuda tidak gentar bertarung dengan kaki para kamerad yang besar.

Sebuah shooting keras dari Ryshkin menghujam sisi kanan gawang garuda, penonton harap cemas namun dengan sekali terbang diudara Maulwi menepis tendangan Ryshkin. Kachalin berdiri dari kursinya seakan tidak percaya bola itu tidak masuk. Penonton bersorak gembira.

Garuda bermain taktis, umpan pendek mulai diperagakan, setiap kali Witarsa atau Ramang memegang bola penonton bersorak riuh, kedua pemain sangat lincah berkali-kali pemain Sovyet terpaksa melanggar keduanya. Di menit 26 sebuah benturan keras terjadi Tjiang Thio terkapar setelah dihajar Anatoli Issaev, darah mengucur di kepala anak China ini. Tapi Tjiang Thio tetap melanjutkan permainan, penonton memberi aplaus.

Kelihatan anak-anak Rusia mulai frustasi berkali-kali mereka bermain kasar, sampai menit 35 sudah tiga kali sudah Maulwi sigap menyelamatkan gawang garuda. Sedangkan gawang Lee Yashin belum terjamah tembakan.

Kachalin memerintah pemainnya menyerang dari sayap mengandalkan postur pemain Rusia yang menjulang bak Jerapah. Pada suatu moment bola udara didepan gawang Maulwi, dengan sekali sapuan Siregar mengirim bola ke Witarsa dan kemudian dengan sekali sentuhan bola tersebut di oper ke Ramang dari sisi kanan. Ramang si nomor 11 berlari sangat kencang, dia dikawal ketat Igor Netto, bola masih memantul di tanah ketika dengan gerakan tak terduganya dari sudut sempit Ramang menembak kearah gawang. Lee Yashin bereaksi, Kachalin keringat dingin dipinggir bench pemain, Untung Sovyet punya Yashin dia mampu menepis tendangan voli dari Ramang.

“Fantastic shoot and fantastic Save” ujar komentator ABC.

Sampai 45 menit pertama skor masih imbang 0-0. Wajah Kachalin kini berubah, kerut diwajahnya bertambah banyak, dia tidak menyangka mendapat perlawanan ketat padahal sehari sebelumnya mereka dengan mudahnya mengalahkan Jerman Barat 2-1.

Ramang berusaha menahan sakit dikakinya, kaus kaki putih punya Ramang berganti warna menjadi merah, darah segar mengucur dari kaki Ramang, bukan hanya Ramang tapi Rasjid juga kakinya berdarah, beberapa kali bek Garuda ini mensliding pemain Rusia di mulut kotak 16.

Kick off babak kedua dimulai, para Kamerad dengan postur dan fisik yang kuat terus mengirimkan sinyal maut ke mulut gawang Garuda. Maulwi Saelan si anak Makassar tampil memukau. Merasa tidak bisa menembus, pemain Rusia mulai main kasar. Korban pertama adalah kiper Maulwi Saelan yang dihajar sikut pemain Rusia. Maulwi terkapar, penonton yang sejak awal mendukung Garuda terus memberi semangat” Give up…Give up” teriak suporter.

“Indonesia main gagah berani, Rusia main kasar” seru salah satu wartawan di pinggir lapangan
Maulwi bangkit, Garuda bersemangat lagi, waktu terus berjalan, para Kamerad mencoba jalan lain mereka mencoba menembak dari luar kotak penalty. Sebuah tembakan keras di lakukan Igor Netto di menit 80 membentur bagan Siregar, Maulwi Saelan salah langkah bola seperti akan masuk, tapi pas di mulut gawang berdiri Ramlan Yatim si anak Medan, dia jadikan badanya sebagai perisai hidup, bola tidak jadi masuk memantul ke luar lapangan, corner kick buat Sovyet. Kachalin mulai gusar beragam upaya gagal total.

Di menit-menit akhir permainan, umpan jauh dari Rasjid mengarah ke Ramang, dengan sedikit gerak tipu Ramang menchip bola melawati satu bek Rusia, tinggal berhadapan dengan Lee Yashin. Penonton histeris menanti momen penting, disaat akan menembak  ke gawang, baju kaos Ramang ditarik oleh Igor Netto, Ramang terpeleset sebelum benar-benar jatuh kaki kiri Ramang mengayunkan bola ke gawang Yashin.
Yashin tampil luar biasa, badannya seperti laba-laba yang sigap menangkap semua mangsa yang hadir di depannya, bola Ramang bisa di tepis. Ini peluang terakhir kedua tim. Pertandingan berakhir 0-0.

“Indonesia number eleven is very good” komentar penyiar Radio menutup partai bersejarah sore itu. Sebuah perjuangan heroik. Di pinggir lapangan Ramang yang kaosnya sobek menghampiri Adi wartawan Indonesia, dia berujar bangga “tulis berita ini dan sebarkan ke seantero Indonesia, kita bisa menahan Sovyet”
“Iya bang, besok pagi berita ini sudah sampai di Indonesia” kata Adi

Keesokan harinya, Adi datang sambil membawa sebuah Koran Prancis, mereka menulis perjuangan Garuda dengan judul “mereka bukan sekedar bermain bola, mereka adalah Warrior (Ksatria)”
Di kuburan itu, si kakek coba mengingat kembali peristiwa heroik di Melbourne.
“Kek, yang terbaring disini adalah Ramang yang legendaris itu yah?” Tanya Alif yang datang bersama kakek ke TPU.

“Iya Alif, dia adalah pahlawan hebat, saya saksi kehebatan Garuda di Melbourne. Ketika itu kakek mu wartawan yang ditugaskan meliput ke sana”

“Mereka bermain membela bangsa dengan hati, tidak pernah mengeluh karena makanan yang kadang terlambat, tidak mengeluh hanya karena tidur di mes kecil, mereka tidak pernah minta uang jasa kepada Negara, malah mereka merasa selalu berhutang jasa kepada negeri ini” kakek menambahkan

“Kalau dia pahlawan, seharusnya makamnya bukan disini tapi di depan sana (sambil menunjuk Taman makam pahlawan Panaikang pas depan TPU)” seru Alif

“seorang pahlawan tidak membutuhkan nisan yang megah, yang utama orang itu mampu memberikan kebanggaan bagi bangsa dan negaranya” Jawab kakek

Sebelum beranjak pergi, kakek meletakkan sebuah potongan kertas yang berisi potongan berita dari FIFA, sebuah gambar Ramang membawa bola dengan judul “Indonesia Who Inspired’50s Meridian”.
Ramang di situs FIFA (FIFA.com)


Salam