21 Okt 2014

Kaizen & Abad Indonesia

Dalam beberapa pekan terakhir suasana kantor lebih bersemangat, gaung perbaikan yang dimulai dari hal-hal kecil sedang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Momentum tersebut berasal dari sebuah kelas training yang setiap pekan hadir di sela-sela aktivitas kerja yang padat. Setiap Rabu dan Jumat Sore kami diajari tentang konsep manajeman ala Jepang bernama Kaizen.

Lupakan sejenak tulisan keren bang Yodhia yang berjudul The Death of Samurai yang kontroversial. Secara harfiah kaizen bermakna sama dengan continuous Improvement (perbaikan berkelanjutan). Kaizen satu dari sekian beragam konsep manajemen yang coba menawarkan solusi perusahaan menjadi hebat. Selain Kaizen kita mengenal yang namanya Six Sigma atau Balanced Scoredcard. Nama terakhir cukup akrab dengan saya karena menjadi bahan skripsi sarjana.

Kaizen memulainya dari hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele, sebuah perbaikan bertitik awal dari sekitar kita dari semua lini, dari staf hingga level manajer. Bahwa sering kali perubahan memang beranjak dari hal-hal kecil yang memiliki momentum menjadi lokomotif perubahan bila dilakukan secara tepat. Bulan Januari 1986, pesawat ulang alik Challenger meledak di atas Samudera Atlantik, menewaskan tujuh astronotnya dan membakar ratusan milyar US Dollar, hasil investigasi mengungkapkan ledakan terjadi akibat adanya goresan yang menimbulkan retak kecil sekian centimeter di salah satu badan pesawat. Percikan api tersebut berasal dari retak kecil tersebut. Ternyata hal kecil bila luput bisa membahayakan dan merugikan.

Tahukah anda siapa yang dijuluki Mr. Crack dia adalah si jenius dari Indonesia, BJ. Habibie. Yang membuat dia begitu populer di dunia karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli dirgantara mengenal apa yang disebut Teori Habibie, Faktor Habibie, Fungsi Habibie. Karena mampu menghitung yang kecil dan detail mengantar Habibie menjadi orang penting di dunia penerbangan.
Jangan pernah meremehkan hal-hal kecil karena momentum bisa jadi berasal dari sana, pepatah Tiongkok berkata “langkah seribu berawal dari langkah pertama” jadikan perubahan kecil sebagai langkah pertama menuju langkah seribu yang lebih besar.

Orang Jepang lewat Kaizen selalu bertolak pada asumsi perbaikan bukan inovasi karena orang Jepang benci dengan inovasi akan tetapi orang Jepang giat melakukan pengembangan produk. Masih ingat dengan kisah Walkman, ketika itu Masaru Ibuka yang gemar dengan musik klasik ingin menikmati musik favoritnya dengan praktis. Masaru lalu meminta menajer divisi untuk membuat produk yang praktis hingga lahirlah Walkman. Bitcoin, alat pembayaran dunia maya juga berasal dari Jepang dan banyak lagi produk Jepang yang lahir dari hasil riset.

Bangsa yang Menua

Penerapan Kaizen adalah menjalankan konsep PDCA (Plan-Do-Check-Action), siklus PDCA berputar terus-menerus dengan diselingi oleh SDCA (Standardize- Do-Check-Action). Sekilas bila diamati proses terlama berada di putaran Plan (rencana). Orang-orang Jepang dikenal mampu melahirkan produk yang sempurna dengan detail yang mengagumkan sampai hal-hal kecil diperhitungkan dengan seksama, imbasnya harga produk relatif mahal yang membuat produk Jepang kedodoran melawan produk nyaris sama dari Korea dan Tiongkok dengan harga yang murah.

Di produk seperti elektronik, IT, hingga produk rumah tangga lainnya pangsa pasar Jepang bertahap direbut oleh Korea, Amerika, Tiongkok maupun India. Namun hal tersebut tidak berlaku pada otomotif, lewat Toyota misalnya Jepang mampu merajai pasar otomotif dunia. Yang membedakan adalah persepsi konsumen, di elektronik dan IT misalnya produk sangat cepat berubah, apa yang canggih hari ini akan usang 2 atau 3 tahun lagi, perusahaan Apple Corporation misalnya hanya dalam beberapa tahun sudah mampu melahirkan produk iPhone 6 yang lebih canggih. Beda dengan otomotif, model minibus seperti Avanza yang populer dari tahun 2006 hingga kini masih menjadi raja di jalanan.

Namun menuduh konsep Kaizen telah usang tidak sepenuhnya benar, siklus PDCA kelihatannya membuat Jepang terkesan lamban (kecuali di otomotif) tapi sesungguhnya melambatnya industri Jepang lebih pada faktor penduduk. Negara-negara maju seperti Jepang sebagian besar penduduknya berada pada usia lanjut/tidak produktif (di atas 50 tahun). Sebutannya negara yang menua, atau an aging nation. Kondisi yang mengharuskan banyak perusahaan Jepang menarik kembali pegawai yang seharusnya sudah menikmati masa tuanya bersama cucu untuk kembali menjadi karyawan. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi anak muda Jepang yang memilih menjadi pekerja kreatif dari pada bekerja di perusahaan manufaktur seperti elektronik, mereka menghindari proses pekerjaan mengandung 3-K, yaitu Kitanai (Kotor), Kiken (Bahaya) dan Kitsui (Berat).

Indonesia Bisa

Melihat realita tersebut, saya meyakini masa depan Kaizen ada di Indonesia. Kita punya sumber daya manusia yang berlimpah dan seperti kata Anies Baswedan bahwa kekayaan Indonesia bukan kekayaan alam tapi sumber daya manusia (SDM). Konsep Kaizen yang brillian mesti didukung oleh SDM yang hebat dan produktif. Jika menengok angka statistik Produk Domestik Bruto (PDB), Jepang yang dulu dianggap sebagai negara terhebat nomor 2 dunia kini posisinya disalip oleh Tiongkok dan India.

Dan tidak tertutup kemungkinan dalam satu dekade Indonesia bisa menyalip Jepang mahaguru Kaizen. Perusahaan nasional yang mampu menerapkan Kaizen sebaik dari negeri asalnya akan menjadi menara gading perubahan yang membawa Indonesia masuk lima besar dunia. Kita bisa belajar dari Garuda Indonesia yang menjadi salah satu maskapai terbaik di dunia.

Yang menarik adanya siklus bahwa dulu kejayaan ekonomi ada di Eropa dan Amerika, kemudian diambil alih oleh Jepang selama 2 dekade, lalu muncul bayi ajaib Tiongkok, Korea dan India yang menghentak dunia, entah berapa lama mereka berjaya? Saya yakin setelah itu masuk ke eranya Indonesia, abadnya Indonesia.

Salam