Akhirnya
kesampaian keinginan saya menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck Kamis 26 Desember 2013, sebuah film yang diangkat dari Novel
dengan judul yang sama karya Buya Hamka. Sejak kecil saya sudah kagum
sama ulama Minang yang hebat ini. Bersama teman-teman kantor kami
beruntung masih mendapatkan tiket nonton disalah satu mall ternama di
Makassar. Saya belum pernah membaca novelnya sampai tuntas, namun isi
cerita novelnya sudah saya ketahui sejak SMP. Keinginan menggebu untuk
menonton film ini tidak lain ingin melihat logat Makassar dalam film
tersebut, saya penasaran bagaimana anak Muda Jakarta (Herjunot Ali) bisa
berakting dengan logat Makassar juga bagaimana rupa Indonesia era 30an
dalam film yang disebut-sebut film termahal Indonesia.
Film
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck banyak menampilkan panorama alam
Indonesia yang masyur keindahannya dari pantai hingga pegunungan. Film
ini bersetting tahun 1930an ketika Indonesia masih dibawah pengaruh
kolonial Belanda. Film ini mengisahkan perjalanan cinta Zainuddin yang
seorang pemuda Makassar dengan Hayati, gadis keturunan Minang.
Percintaan dua sejoli ini harus kandas karena adat yang kuat. Zainuddin
yang berayah Minang dan beribu Makassar tidak dianggap dalam pranata
sosial oarng Minang yang berdasarkan pada keturunan ibu (matrilineal)
dan di Makassar Zainuddin juga terasing karena orang Makassar menganut
sistem patrilineal yaitu dari garis keturunan Ayah. Alhasil Zainuddin
menjadi orang terusir. Sedangkan Hayati (Pevita Pearce) adalah wanita
Minang asli.
Lewat surat Zainuddin menumpahkan perasaan cintanya ke Hayati, katanya Lewat surat kita bebas menerangkan perasaan kita.
Kuatnya pengaruh adat yang dipersonifikasikan dengan seorang pemangku
adat membuat Zainuddin yang terancam jiwanya memutuskan pindah menuntut
ilmu ke Padang Panjang. Namun cinta tidak bisa menghentikan keduanya,
Hayati yang terpikat oleh sikap rendah hati Zainuddin bermaksud
menjumpai Zainuddin di Padang Panjang. Kehadiran Hayati di Padang
Panjang menjadi awal dari polemik cinta segitiga.
Di
Padang Panjang hayati berjumpa seorang pemuda Minang yang bergaya
Belanda namanya Aziz (Reza Rahadian). Aziz dan keluarganya kemudian
jatuh hati sama Hayati. Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati,
sebaliknya Lamaran keluarga Aziz diterima. Selanjutnya penonton dibawa
ke suasana sedih ketika Hayati menikah dengan Aziz dan sebuah surat dari
Hayati sebagai penikam hati Zainuddin. Dari sini bisa dilihat bagaimana
Buya Hamka coba mengangkat betapa kuatnya pengaruh adat di tanah
Minang.
Seolah
dipertemukan oleh nasib keduanya tinggal di satu kota di Surabaya.
Hidup Zainuddin yang glamour berbanding terbalik dengan Hayati dan Aziz
yang jatuh miskin. Aziz yang gemar main judi dan perempuan hartanya
ludes dan dipecat dari kantornya. Dari sebuah pertunjukan opera,
Zainuddin dipertemukan dengan Hayati. Selanjutunya penonton dibawa
kembali ke suasana sedih yang mendalam. Zainuddin yang memegang janjinya
menolak kehadiran Hayati dalam hatinya. Hayati harus pulang ke tanah
Minang dengan membawa duka, dia menumpang kapal Van Der Wijck. Konon
kapal Van Der Wijck yang dibuat untuk film dipesan khusus dari negeri
Belanda dengan harga yang mahal.
Beberapa
adegan yang menampilkan dialog Zainuddin dalam logat Makassarnya
seringkali membuat penonton tertawa, bisa dimaklumi logat itu sangat
kental Makassarnya. Seperti ketika Zainuddin yang sakit dijenguk oleh
Hayati, sadar Hayati sudah bersuami , Zainuddin berkata "keluar ko
semuanya, pergi ko semuanya" ini sangat kental aksen Makassarnya. Secara
umum penggambaran Zainuddin sebagai orang Makassar sudah cukup baik
walau kelihatan sekali Zainuddin mempunyai gaya bahasa yang berat yang
sedikit berbeda dengan orang Makassar.
Secara
umum film ini menampilkan sisi humor yang mengundang tawa. Apalagi film
didukung oleh alunan musik dan lagu yang enak didengar serta dipoles
dengan kecantikan dan kelembutan Hayati (Pevita Pearce). Tidak
mengherankan jika banyak anak muda yang sehabis nonton film ini bermimpi
bisa ketemu Hayati seperti dalam film. Selain itu banyak kalimat atau
ungkapan bijak terdapat dalam film ini seperti "Cinta bukan
melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis.
Cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan
menempuh onak dan duri penghidupan"
Ditengah
serbuan film barat dan film lokal yang bergenre hantu dan seksi dengan
kualitas menyedihkan, maka kehadiran film fiksi roman Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck seperti angin sejuk di padang pasir yang kering. Tidak
berlebihan jika nanti penonton film ini bisa menembus angka 1 juta
penonton karena film ini memang layak menjadi tontonan. Film ini pantas
mendapatkan rating 8/10. Semoga hadir lagi film nasional dengan kualitas
mumpuni. Ayo ajak keluarga dan orang anda kasihi menonton film ini.
Saya cinta film Indonesia.
Salam