31 Des 2013

Menikmati Indonesia Tempo Doeloe di Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


1388211132120595826

Akhirnya kesampaian keinginan saya menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Kamis 26 Desember 2013, sebuah film yang diangkat dari Novel dengan judul yang sama karya Buya Hamka. Sejak kecil saya sudah kagum sama ulama Minang yang hebat ini. Bersama teman-teman kantor kami beruntung masih mendapatkan tiket nonton disalah satu mall ternama di Makassar. Saya belum pernah membaca novelnya sampai tuntas, namun isi cerita novelnya sudah saya ketahui sejak SMP.  Keinginan menggebu untuk menonton film ini tidak lain ingin melihat logat Makassar dalam film tersebut, saya penasaran bagaimana anak Muda Jakarta (Herjunot Ali) bisa berakting dengan logat Makassar juga bagaimana rupa Indonesia era 30an dalam film yang disebut-sebut film termahal Indonesia.

Film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck banyak menampilkan panorama alam Indonesia yang masyur keindahannya dari pantai hingga pegunungan. Film ini bersetting tahun 1930an ketika Indonesia masih dibawah pengaruh kolonial Belanda. Film ini mengisahkan perjalanan cinta Zainuddin yang seorang pemuda Makassar dengan Hayati, gadis keturunan Minang. Percintaan dua sejoli ini harus kandas karena adat yang kuat. Zainuddin yang berayah Minang dan beribu Makassar tidak dianggap dalam pranata sosial oarng Minang yang berdasarkan pada keturunan ibu (matrilineal) dan di Makassar Zainuddin juga terasing karena orang Makassar menganut sistem patrilineal yaitu dari garis keturunan Ayah. Alhasil Zainuddin menjadi orang terusir. Sedangkan Hayati (Pevita Pearce) adalah wanita Minang asli.

Lewat surat Zainuddin menumpahkan perasaan cintanya ke Hayati, katanya Lewat surat kita bebas menerangkan perasaan kita. Kuatnya pengaruh adat yang dipersonifikasikan dengan seorang pemangku adat membuat Zainuddin yang terancam jiwanya memutuskan pindah menuntut ilmu ke Padang Panjang. Namun cinta tidak bisa menghentikan keduanya, Hayati yang terpikat oleh sikap rendah hati Zainuddin bermaksud menjumpai Zainuddin di Padang Panjang. Kehadiran Hayati di Padang Panjang menjadi awal dari polemik cinta segitiga.

Di Padang Panjang hayati berjumpa seorang pemuda Minang yang bergaya Belanda namanya Aziz (Reza Rahadian). Aziz dan keluarganya kemudian jatuh hati sama Hayati. Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati, sebaliknya Lamaran keluarga Aziz diterima. Selanjutnya penonton dibawa ke suasana sedih ketika Hayati menikah dengan Aziz dan sebuah surat dari Hayati sebagai penikam hati Zainuddin. Dari sini bisa dilihat bagaimana Buya Hamka coba mengangkat betapa kuatnya pengaruh adat di tanah Minang.
13882112741378379048
Film ini tambah menarik dengan hadirnya tokoh Muluk, si preman yang insyaf
Dalam keterpurukan itu Zainuddin yang mempunyai kawan setia berambut kribo bernama Muluk mulai bangkit. Perlahan Zainuddin menjadi penulis novel. Novelnya berjudul Teroesir menjadi best seller. Garis hidup Zainuddin berubah 360 derajat dari miskin menjadi kaya dan tersohor. Di sini saya melihat bagaimana lompatan berpikir sang Buya Hamka yang melihat penulis novel pada suatu masa akan menjadi kaya raya, dimasa  tahun 30an ketika novel ini ditulis hal itu belum terjadi.


Seolah dipertemukan oleh nasib keduanya tinggal di satu kota di Surabaya. Hidup Zainuddin yang glamour berbanding terbalik dengan Hayati dan Aziz yang jatuh miskin. Aziz yang gemar main judi dan perempuan hartanya ludes dan dipecat dari kantornya. Dari sebuah pertunjukan opera, Zainuddin dipertemukan dengan Hayati. Selanjutunya penonton dibawa kembali ke suasana sedih yang mendalam. Zainuddin yang memegang janjinya menolak kehadiran Hayati dalam hatinya. Hayati harus pulang ke tanah Minang dengan membawa duka, dia menumpang kapal Van Der Wijck. Konon kapal Van Der Wijck yang dibuat untuk film dipesan khusus dari negeri Belanda dengan harga yang mahal.

Beberapa adegan yang menampilkan dialog Zainuddin dalam logat Makassarnya seringkali membuat penonton tertawa, bisa dimaklumi logat itu sangat kental Makassarnya. Seperti ketika Zainuddin yang sakit dijenguk oleh Hayati, sadar Hayati sudah bersuami , Zainuddin berkata "keluar ko semuanya, pergi ko semuanya" ini sangat kental aksen Makassarnya. Secara umum penggambaran Zainuddin sebagai orang Makassar sudah cukup baik walau kelihatan sekali Zainuddin mempunyai gaya bahasa yang berat yang sedikit berbeda dengan orang Makassar.

Secara umum film ini menampilkan sisi humor yang mengundang tawa. Apalagi film didukung oleh alunan musik dan lagu yang enak didengar serta dipoles dengan kecantikan dan kelembutan Hayati (Pevita Pearce). Tidak mengherankan jika banyak anak muda yang sehabis nonton film ini bermimpi bisa ketemu Hayati seperti dalam film. Selain itu banyak kalimat atau ungkapan bijak terdapat dalam film ini seperti "Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis. Cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan"
13882114121365039686
Kapal Van Der Wijck yang khusus dipesan dari Belanda menambah keklasikan film ini
Yang mengagumkan lainnya seperti munculnya mobil antik tahun 30an, lalu bangunan yang klasik atau suasana saat pacuan kuda, orang-orang londo Belanda dengan pakaiannya menambah ke klasikan film ini. Sepertinya Soraya Intercine Film tidak ingin setengah-setengah menggarap film ini. Seolah-olah penonton terbawa  kesuatu zaman di tahun 30an ketika Indonesia masih belum merdeka. Setelah menonton film ini, ada beberapa kawan yang mengkritik kurangnya adegan di kapal Van Der Wijck sepertinya mereka masih terbawa emosi dalam film Titanic. Kritikan lain yaitu gambar laut dan detik-detik tenggelamnya kapal yang terasa kurang dramitisir.

1388211613974398415
Herjunot Ali mampu memerankan tokoh Zaijuddin dengan sangat baik
Menonton film ini saya membayangkan bagaimana seorang Hamka menorehkan penanya baris demi baris dalam sebuah novel. Saya membayangkan bagaimana disuatu senja Buya Hamka menatap keindahan pantai Losari dan kapal hilir mudik di bibir pantai Losari yang kemudian menuangkan inspirasi ke kepala Buya Hamka untuk lahirnya novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kurang lebih 3 tahun lamanya Buya Hamka pernah menetap di Makassar. Film ini adalah film kedua Buya Hamka yang saya nonton, sebelumnya film Dibawah Lindungan Kabah.


Ditengah serbuan film barat dan film lokal yang bergenre hantu dan seksi dengan kualitas menyedihkan, maka kehadiran film fiksi roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck seperti angin sejuk di padang pasir yang kering. Tidak berlebihan jika nanti penonton film ini bisa menembus angka 1 juta penonton karena film ini memang layak menjadi tontonan. Film ini pantas mendapatkan rating 8/10. Semoga hadir lagi film nasional dengan kualitas mumpuni. Ayo ajak keluarga dan orang anda kasihi menonton film ini. Saya cinta film Indonesia.

Salam